Bagi saya yang bukan pencinta K-pop dan tidak
terlalu menggandrungi K-drama, Daehan
Minguk adalah sebuah negara kecil yang berhasil menyandingkan nilai budaya dan
sejarah lokal klasik dengan moderenitas berteknologi tinggi hingga kemudian
dikenal luas di dunia saat ini. Maka, dalam pandangan saya K-pop dan K-drama
hanyalah dua jenis media yang digunakan untuk lebih mengenalkan Korea Selatan
ke dunia internasional yaitu melalui musik dan dunia perfilm-an apalagi karena
sejauh ini saya hanya menyukai Dae Jang Geum/Jewel in the palace sebagai drama
Korea yang paling berkesan dari sisi ekplorasi budaya dan sejarah Korea serta
Full House dan Winter Sonata dari sisi sweet-love story dan eksplorasi
tempat-tempat iconic yang diangkat. Karena itulah, saya dengan yakin akan
selalu mengatakan bahwa Korea Selatan jauh lebih menarik dari sekedar K-pop dan
K-drama.
Beberapa hal sederhana yang sarat makna yang saya temukan sebagai 'oleh-oleh' selama mengikuti program IKYEP 2011 lalu adalah usaha dan kedisiplinan orang-orang Korea Selatan menjaga budaya negara mereka. Beberapa diantaranya terekam melalui ke-empat hal di bawah ini.
Beberapa hal sederhana yang sarat makna yang saya temukan sebagai 'oleh-oleh' selama mengikuti program IKYEP 2011 lalu adalah usaha dan kedisiplinan orang-orang Korea Selatan menjaga budaya negara mereka. Beberapa diantaranya terekam melalui ke-empat hal di bawah ini.
Haechi, mitologi bernilai estetik
Chonggyechoen
stream adalah salah satu bukti nyata keberhasilan pemerintah Kor-Sel mengahdirkan
lahan terbuka bagi warga Seoul khususnya dengan menerapkan kebijakan –yang
awalnya kontroversial- tentang normalisasi sungai yang membelah Seoul tersebut.
Tapi, tahukah anda bahwa selain sejarah Chonggyechoen stream yang juga merupakan
bagian dari upaya serius pemerintah dalam usaha melestarikan lingkungan, sebuah
patung boneka kuning yang terlihat imut dan lucu juga menjadi daya tarik tersendiri
Mungkin
tak banyak wisatawan yang tahu bahwa boneka dengan mata jenaka dan hidung
cokelat itu adalah Haechi, maskot yang dipilih mewakili Seoul sebagai mascot-brand yang diharapkan akan
mendunia seperti halnya Lady Liberty-nya New York atau Eiffel-nya Paris. Haechi
yang merupakan karakter Mitologi menyerupai singa namun sejatinya adalah anjing
pemakan api dianggap sebagai penjaga Seoul dari kebakaran, bencana alam dan
kejahatan. Haechi juga dianggap sebagai simbol dari keadilan dan keberuntungan.
Lebih dari itu, karakter Haechi yang digambarkan berwajah lucu dan menggemaskan
ini juga dinilai memiliki nilai estetika tersendiri bai Seoul. Maskot ini sangat
Seoul-sekali!
Well,
jika membahas Haechi dan sayembara yang dilakukan sebelum akhirnya Haechi
dipilih sebagai maskot, saya sempat berfikir mengapa Jakarta (pemerintah ketika
itu) justru memilih Monas yang merupakan representasi dari Lingga dan Yoni?
Ditambah lagi keberadaan Monas yang lokasinya justru tak jauh dari Masjid
Istiqlal dan Katedral Jakarta? Lalu,
saya juga sempat pernah bertanya dalam hati “kapan ya kali Ciliwung menjadi
seindah Chonggyechoen stream?”
Hanok dan Hanji, preservasi klasik tentang jati diri
Ketika
berusia 14 tahun saya pernah keranjingan
berkirim surat ke beberapa kedutaan asing yang ada di Jakarta untuk sekedar
mengharapkan informasi tentang negara-negara tersebut, maka ketika itu saya
banyak mendapatkan balasan berupa brosur dan leaflet bahkan kamus saku bahasa
asing negara-negara tersebut. Saya lalu memiliki angan untuk mengabadikan
suasana musim gugur dengan daun-daun kuning dan merah berjatuhan diatas saya.
Sederhana memang, namun bagi saya impian itu eksotis!
Kemudian,
di Jeonju Hanok Village mimpi masa kecil itu terwujud, tunai! Senangnya hati
saya saat itu tak terperikan setelah sebelumnya tidak mendapatkan momen
tersebut ketika masa tinggal singkat saya di Amerika selesai.
Saat
menyusuri Hanok Village dengan segala keunikan interior dan eksterior yang ada,
pengunjung pasti akan sangat menikamati area ini, bahkan saya merasa terbawa ke
zaman dinasti Joeson dulunya seperti scene-scene yang saya lihat di film Dae
Jang Geum. “duhai! apik sekali” batin saya saat itu.
Hanok
village adalah bentuk kepedulian pemerintah dan masyarakat Korea Selatan
terhadap budaya yang kemudian ditampilkan pemerintah setempat dalam proyek
pembangunan arsitektur rumah tradisional Korea yang mengesankan, apik dan bercita rasa klasik-modern yang elegan.
Hal ini dilakukan demi melestarikan rumah tradisional Korea dan proyek ini
kemudian mampu menjadi atraksi wisata yang sangat memukau. Ditunjang dengan
sarana prasarana yang tetap memanfaatkan hanok sebagai bangunan utama, toko-toko
souvenir, galeri seni, handycraft house,
café bahkan gang-gang kecil yang bisa anda jelajahi akan terasa sangat kental
dengan nuansa Korea tempo dulu apalagi jika dipadukan dengan gemericik air yang
dilengkapi dengan kincir air kayu. Love it!
Tapi
tunggu dulu! Hanok village tak hanya mengahdirkan nuansa romantic tempo dulu
dengan kehadiran puluhan Hanok yang ada. Saat itu, ketika melihat-lihat galeri
handycraft setelah puas berhasil membuat Hand Mirror, saya melihat gulungan
kertas warna-warni dipajang di toko tersebut. Yeseul Seo, penerjemah kami
selama program berlangsung, menjelaskan bahwa kertas-kertas itu adalah hanji.
Hanji
terbuat dari chomok, kulit kayu
mulberry, dan memakan waktu yang lama dalam proses pengerjaannya dan juga
sangat rumit sampai kemudian dapat digunakan untuk beragam keperluan rumah
tangga dan even-event tradisional, termasuk digunakan sebagai kertas pelapis
pintu atau jendela di dalam hanok. Karena nilai seni tinggi ditambah lagi
proses pengerjaan yang rumit dan lama dan juga bahan baku pilihan yang harus
dipilih secara sangat selektif inilah pemerintah Korea Selatan sangat protektif
dalam menjaga kelestarian tradisi pembuatan hanji.
Bagi
saya hanji dan hanok adalah sejoli yang tak dapat dipisahkan. Hanji dan hanok
adalah bentuk kearifan orang Korea zaman dahulu yang hingga sekarang dapat
dilestarikan di Korea dengan baik.
Andai
kita dan juga pemerintah (daerah dan pusat) mengembangkan terobosan-terobosan
baru agar lebih mampu menjaga dan melestarikan budaya kita, maka dengan promosi
serta penanganan yang lebih baik dan tepat dari yang telah ada sebelumnya,
macam-macam kertas berbahan kulit kayu di Nusantara semacam Lantung dari
Bengkulu, Tapa dari Kalimantan Tengah atau kertas Lontar dan Daluang di Jawa dan
juga rumah-rumah tradisional yang ada di setiap daerah di Nusantara, kekayaan
Indonesia ini pasti akan lebih dikenal dan berkembang serta mampu menjadi daya
tarik wisata budaya seperti halnya hanok dan hanji-nya Korea Selatan.
Hanbok,
busana yang sangat “ketimur-an”
Hanbok!
Ketika
di Korea saya sangat ingin mencoba mengenakan Hanbok sebagai upaya menjawab
rasa penasaran saya tentang apa jadinya jika jilbab berpadu dengan Hanbok. Maka
ketika momen itu saya dapatkan, hasilnya, serasi!
Setelah
belajar melakukan Sebae (cara penghormatan
yang dilakukan masayarakat Korea), dan
menyantap camilan khas Negeri Ginseng, seorang ibu petugas di Korean National
Art Museum menjelaskan tentang Hanbok dan mengizinkan kami memilih Hanbok yang
kami sukai. Ia menjelaskan bahwa Hanbok tak hanya tentang berpakaian, namun
mengajarkan tentang filosofi kesopanan dalam berbusana kepada generasi muda
Korea. “Unlike Japanese and Chinese costume, Hanbok is loose gown so it
wouldn’t shape your body but it is still graceful and pretty”. Lalu sang ibu
membantu saya mengenakan Hanbok yang ia pilih agar warnanya serasi dengan
jilbab hitam saya ketika itu.
Hanbok
mengajarkan saya tentang feel
ke-timuran yang lebih terasa dibandingkan beberapa pakaian daerah
Indonesia. Dari sudut pandang ini, harus
diakui bahwa dalam beberapa hal negara kita yang mayoritas berpenduduk Muslim
ini ternyata belum se’timur’ beberapa negara lainnya di dunia dan Korea Selatan
ternyata memiliki sisi ‘ketimur-an’ tersebut
yang salah satunya hadir dari filosofi Hanbok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar