Minggu, 04 Januari 2015

Cerita dari Kanada (Part 4)

Dear, Sahabat PCMI Babel
PPPAN tidak sekedar berkunjung ke negara-negara lain loh. Banyak deretan kegiatan yang harus dijalani seorang delegasi selama program masing-masing sesuai dengan karakteristik tiap-tip program yang berbeda. 
Kali ini, Primalita 'Ayim' Putri Distina kembali mengirimkan ceritanya tentang salah satu kegiatan yang ia ikuti selama Fase Kanada sebagai seorang relawan di beberapa tempat. 

Yuk disimak ^_^

Learning to give and to share

Tak terasa sebentar lagi fase di Kanada akan berakhir maka perasaan campur aduk-lah yang saya rasakan. Ada perasaan sedih mengingat waktu saya disini akan segera usai. Namun disisi lain, saya juga merasa senang karena akan kembali ke tanah air dan memulai aktivitas baru di fase Indonesia yang akan dilaksanakan di Pondok Meja, Jambi. Salah satu rasa senang itu adalah perasaan bahwa tak lama lagi saya yang sudah sangat rindu makan daging sapi dan ayam halal ini-pun akan segera bisa bebas menyantapnya.

Well, sudah hampir tiga bulan saya di Kanada dan tentunya sudah banyak hal yang terjadi dan dipelajari. Saya sudah melewati mid project di Mount Washington, melihat salju pertama di Duncan yang membuat saya mengharu-biru dan juga berkutat dengan voluntary project. 

Ini adalah salah satu tempat saya bekerja sebagai sukarelawan selama Fase Kanada. Parkside Academy adalah sebuah after school care yang akan segera di buka di awal tahun depan. Ini adalah sebuah project besar dimana saya menjadi volunteer di sini setiap Senin dan Selasa. Saya, bersama partner kerja saya yaitu Nathaniel (Nath) Oimet yang berasal dari Quebec, bekerja di sebuah sekolah yang sudah 2 tahun tidak dipakai dari jam 08.45 pagi hingga 12.30 siang.

Sekolah itu dulunya bernama Somenos Rural Traditional School yang terletak agak jauh dari perkotaan. Namun, suasananya yang asri dan sejuk dengan pemandangan Mt. Prevost serta pepohonan membuat tempat ini terasa menenangkan. 

Selama bekerja disini kami menata ulang sekolah ini dari awal, benar-benar dari awal. Dimulai dengan membersihkan pekarangan sekolah lalu merapikan ruang kelas dan gymnasium, mengecat dinding kelas, mengelap meja, rak buku, kursi, dan lemari, kamudian diikuti dengan menyusun buku-buku, dan beberapa pekerjaan lainnya. Sejujurnya, saya merasa tidak betah pada saat pertama bekerja disini. Saya harus bekerja di luar untuk membersihkan pekarangan di cuaca yang sangat dingin. Tubuh saya terasa ngilu karena dingin yang menusuk hingga ke tulang meski sebenarnya saya sudah memakai baju 4 lapis plus jaket hangat. Silahkan bayangkan seperti apa dinginnya cuaca ketika itu. 


Nath

Saya masih ingat ketika pada suatu saat hujan rintik-rintik turun diikuti dengan angin yang berhembus cukup kencang, tak ayal keadaan tersebut membuat suhu udara menjadi semakin dingin. Saya yang sudah tidak kuat lagi bekerja di luar akhirnya memutuskan masuk ke dalam sekolah yang juga tidak memiliki pemanas ruangan. Lalu saya memutuskan untuk masuk ke dalam toilet dan duduk meringkuk disana. Rasa dingin yang tidak kunjung hilang membuat saya ingin sekali menangis.

Pada saat itu saya sempat berpikir mengapa saya melakukan pekerjaan ini? Bekerja di luar dan menggigil kedinginan?Padahal pekerjaan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan latarbelakang pendidikan saya di bidang Pisikologi. Namun, sejurus kemudian saya menyadari bahwa saya disini sebagai seorang volunteer atau relawan. Relawan berarti saya bekerja tanpa pamrih, tanpa memikirkan bentuk pekerjaan tersebut dan yang terpenting saya dapat berguna bagi banyak orang. Saya sadar bahwa tujuan saya di sini-pun adalah untuk belajar banyak hal dan saya harus bisa mencari insight dari setiap pengalaman yang saya dapatkan.


Kemudian, saya-pun mulai menyemangati diri saya sendiri. Saya membayangkan jika sekolah ini sudah layak pakai dan murid-murid baru berdatangan. Mereka belajar banyak hal di sini, bermain bersama teman-teman mereka, tertawa dengan riang. Bukankah itu suatu hal yang menyenangkan? Waktu dan tenaga yang telah saya berikan untuk tempat ini pun tidak akan sia-sia!

Akhirnya, saat ini sekolah Parkside Academy Learning Centre sudah hampir selesai. Ruangan sudah tertata rapi, mainan pun sudah dikemas sedemikian rupa, buku-buku, rak-rak, dan peralatan bermain dan belajar pun sudah lumayan lengkap. Terbersit rasa puas dalam hati saya. Alhamdulillah... Kepuasan yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata!

- Tansor Elementary School

Lain ParksideSomenos, lain pula Tansor Elemntary School. Ini adalah tempat lain dimana saja juga menjadi relawan di sore harinya.  Bagi saya, menjadi relawan di sekolah ini merupakan ‘obat penyembuh ajaib’ selepas kelelahan bekerja di Parkside Academy. Sekolah ini-pun ternyata dekat dengan rumah saya! Disiini, saya bertemu dengan banyak anak yang lucu-lucu dan menggemaskan! After school care adalah project utama Parkside Academy ini.

Dari jam 01.30 hingga 02.00 siang hari, saya bersama Nath bermain bersama anak-anak usia PAUD yang benar-benar sangat bisa membuat hati saya meleleh. Saya sangat takjub sekali dengan segala macam mainan yang dimainkan oleh anak-anak ini; puzzle, clay, rumah-rumahan, ponies, mobil-mobilan, dan permainan lainnya yang belum pernah saya temui! Saya beberapa kali tertarik untuk sedikit menganalisis alat permainan tersebut. Permainan yang digunakan oleh anak-anak ini membantu mereka untuk belajar angka, huruf, bentuk, warna dan lain-lain. Ada sebuah alat permainan puzzle huruf dengan gambar dan warna yang terang. Anak diharapakan bisa menyusun huruf sesuai dengan nama gambar, misalnya ‘car’. Selain itu, alat permainan itu juga membantu mereka mengembangkan motorik kasar dan halus. Ada kalanya mereka menggambar dan mewarnai dengan spidol yang non-toxic dan washable yang aman bagi anak-anak. Pokoknya, permainannya sangat beragam sehingga terkadang tanpa sadar saya ikut bermain bersama mereka bahkan tak jarang saya terbawa suasana hingga asyik bermain sendiri.

Disisi lain, anak-anak juga diajarkan untuk saling berbagi mainan dan bergantian. Para guru bersikap sangat tegas namun mereka tidak pernah sekalipun memarahi anak-anak, apalagi memukul mereka. Tidak ada corporal punishment di sini. Guru-guru menanamkan rasa tanggung jawab dan pentingnya berbagi kepada anak-anak. Saya jadi ingat sebuah quote yang saya baca di dinding kelas itu. Quote dari Dalai Lama yang berbunyi “It is vital that when educating our children’s brains that we do not neglect to educate their hearts.

Setelah bermain, dari jam 02.00 hingga 04.15 sore, saya berpindah tempat ke perpustakaan sekolah untuk bertemu dengan anak-anak yang usianya lebih tua. Lagi-lagi, saya terkagum-kagum dibuatnya. Ada sebuah perpustakaan sekolah yang penuh dengan buku-buku menarik! Ada tentang filsafat, pengetahuan umum, mitologi, sejarah, Kanada dan negara-negara lainnya, sastra, buku cerita bergambar, buku-buku populer seperti Harry Potter, Eragon, Narnia, dan banyak lagi! 

Satu hal lain yang begitu menarik buat saya adalah keberadaan beberapa rak khususus. Di rak-rak tersebut tersusun rapi buku-buku cerita atau pengetahuan yang sesuai dengan musim atau event yang berlangsung. Ketika Halloween, maka dipajang-pin buku tentang Halloween dan sebagainya. Pada saat ini, di rak-rak tersebut tersusun rapi buku tentang Winter dan Christmas!

Nah, di perpustakaan inilah after school care dilaksanakan. Anak-anak dibagi ke dalam dua kelompok; anak-anak kecil dan anak-anak besar. Grup ‘anak kecil’ adalah anak-anak yang berusia 5 hingga 7 tahun yang kebanyakan dari mereka masih duduk di TK dan SD kelas 1. Sementara grup ‘anak besar’ berusia antara 8 hingga 13 tahun. Pada sesi ini, saya mendampingi grup ‘anak besar’.

Kegiatan dimulai dengan mendengarkan cerita atau games kecil-kecilan. Selanjutnya adalaha makan snack bersama. Anak-anak diminta berbaris rapi menuju washroom untuk mencuci tangan. Hebatnya lagi, mereka juga harus memperhatikan bekal makan yang mereka bawa karena mereka tidak diperbolehkan membawa junk food seperti chips, cokelat, dan permen. Buah-buahan, sandwich, dan granola bar adalah jenis makanan yang diperbolehkan. Pernah suatu ketika saya merasa bersalah karena saya memakan cokelat di depan anak-anak tersebut dan mereka memasang wajah memelas, ingin meminta bagian, (ha ha ha ha). 

Kemudian, setelah makan anak-anak akan berkumpul dan mendengarkan cerita lagi. Eits, tetapiada yang berbeda dari story telling kali ini. Patrick, salah satu volunteer yang sudah terlibat sejak 2 tahun lalu, adalah aktor utama dalam kegiatan ini. Dia bercerita dengan melibatkan anak-anak! Ya, ketika dia menceritakan tentang salah seorang tokoh, maka dia akan meminta seorang anak untuk memainkan peran tersebut. Anak-anak tersebut juga sangat antusias dan ekspresif! Saya penasaran, kira-kira bisa tidak ya saya menerapkan gaya story telling ini di Indonesia nantinya?

Sehabis kegiatan story telling, sudah ada tiga meja yang berisi kegiatan fun learning! Beberapa diantaranya adalah words game seperti menyusun nama provinsi di Kanada beserta ibukotanya, menulis tentang hal yang akan dilakukan selama winter, menyusun gambar atau stiker sesuai dengan bentuknya, belajar mengeja, belajar berhitung atau bermain ‘salju’ buatan yang sebenarnya adalah bola-bola bubble seperti jelly yang terasa agak aneh ketika dipegang. Tapi, sejauh ini fun learning favorit saya adalah ketika anak-anak tersebut harus berlomba mencairkan balok es dengan garam! Yup! Sangat seru!


Tidak hanya aktivitas yang mengasah kognitif saja yang dilakukan disini, tapi juga kegiatan yang berkaitan dengan motorik. Anak-anak dibebaskan bermain di luar atau di gymnasium. Semuanya adalah kegiatan bermain karena memang bermain adalah dunia anak-anak. Anak-anak belajar banyak hal dari bermain bersama teman-teman mereka dan itu bukan hanya untuk mengembangkan keterampilan motorik mereka saja, tetapi juga keterampilan psikososial dan kecerdasan emosional. 

Jika cuaca sedang cerah, maka anak-anak bebas bermain di luar karena sekolah ini juga mempunyai halaman sangat luas yang dilengkapi dengan arena bermain seperti outbond.

Anak-anak juga sesekali bermain di hutan dan mengeksplorasinya! Saya pernah ikut bermain bersama anak-anak ini dan ketika itu kami membuat sebuah pondok-pondokan dari ranting-ranting Christmas tree. Sayangnya, pondok kami tidak selesai dengan sempurna karena waktu bermain sudah habis, sayang sekali.

Pada akhirnya, Selasa 16 Desember lalu adalah hari terakhir saya bekerja disini. Perasaan saya campur aduk. Antara senang dan sedih. Saya merasa senang karena pekerjaan saya sudah selesai dan bisa sedikit bersantai sebelum melanjutkan progam di Jambi nanti. Namun, di satu sisi saya pasti akan merindukan anak-anak yang sudah dekat dan selalu bermain bersama saya. Saya pun penasaran ‘bagaimana ketika mereka sudah tumbuh dewasa nanti?’. 

Namun dibalik itu, saya bersyukur untuk setiap kesempatan pembelajaran yang saya miliki selama berada disini. Tuhan tetap mengajarkan saya banyak hal selama program ini berlangsung dan mereka, anak-anak tersebut, adalah guru-guru cilik bagi hidup saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar