Minggu, 23 Februari 2014

Tentang Haechi, Hanji dan Hanok serta Hanbok

Oleh: Dio Andespa Putrika Dewi


Korea Selatan: K-pop wave, K-drama???
 Bagi saya yang bukan pencinta K-pop dan tidak terlalu menggandrungi K-drama, Daehan Minguk adalah sebuah negara kecil yang berhasil menyandingkan nilai budaya dan sejarah lokal klasik dengan moderenitas berteknologi tinggi hingga kemudian dikenal luas di dunia saat ini. Maka, dalam pandangan saya K-pop dan K-drama hanyalah dua jenis media yang digunakan untuk lebih mengenalkan Korea Selatan ke dunia internasional yaitu melalui musik dan dunia perfilm-an apalagi karena sejauh ini saya hanya menyukai Dae Jang Geum/Jewel in the palace sebagai drama Korea yang paling berkesan dari sisi ekplorasi budaya dan sejarah Korea serta Full House dan Winter Sonata dari sisi sweet-love story dan eksplorasi tempat-tempat iconic yang diangkat. Karena itulah, saya dengan yakin akan selalu mengatakan bahwa Korea Selatan jauh lebih menarik dari sekedar K-pop dan K-drama. 
Beberapa hal sederhana yang sarat makna yang saya temukan sebagai 'oleh-oleh' selama mengikuti program IKYEP 2011 lalu adalah usaha dan kedisiplinan orang-orang Korea Selatan menjaga budaya negara mereka. Beberapa diantaranya terekam melalui ke-empat hal di bawah ini. 

Haechi, mitologi bernilai estetik


Chonggyechoen stream adalah salah satu bukti nyata keberhasilan pemerintah Kor-Sel mengahdirkan lahan terbuka bagi warga Seoul khususnya dengan menerapkan kebijakan –yang awalnya kontroversial- tentang normalisasi sungai yang membelah Seoul tersebut. Tapi, tahukah anda bahwa selain sejarah Chonggyechoen stream yang juga merupakan bagian dari upaya serius pemerintah dalam usaha melestarikan lingkungan, sebuah patung boneka kuning yang terlihat imut dan lucu juga menjadi daya tarik tersendiri
Mungkin tak banyak wisatawan yang tahu bahwa boneka dengan mata jenaka dan hidung cokelat itu adalah Haechi, maskot yang dipilih mewakili Seoul sebagai mascot-brand yang diharapkan akan mendunia seperti halnya Lady Liberty-nya New York atau Eiffel-nya Paris. Haechi yang merupakan karakter Mitologi menyerupai singa namun sejatinya adalah anjing pemakan api dianggap sebagai penjaga Seoul dari kebakaran, bencana alam dan kejahatan. Haechi juga dianggap sebagai simbol dari keadilan dan keberuntungan. Lebih dari itu, karakter Haechi yang digambarkan berwajah lucu dan menggemaskan ini juga dinilai memiliki nilai estetika tersendiri bai Seoul. Maskot ini sangat Seoul-sekali!
Well, jika membahas Haechi dan sayembara yang dilakukan sebelum akhirnya Haechi dipilih sebagai maskot, saya sempat berfikir mengapa Jakarta (pemerintah ketika itu) justru memilih Monas yang merupakan representasi dari Lingga dan Yoni? Ditambah lagi keberadaan Monas yang lokasinya justru tak jauh dari Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta?  Lalu, saya juga sempat pernah bertanya dalam hati “kapan ya kali Ciliwung menjadi seindah Chonggyechoen stream?”

Hanok dan Hanji, preservasi klasik tentang jati diri


Ketika berusia 14 tahun saya pernah keranjingan berkirim surat ke beberapa kedutaan asing yang ada di Jakarta untuk sekedar mengharapkan informasi tentang negara-negara tersebut, maka ketika itu saya banyak mendapatkan balasan berupa brosur dan leaflet bahkan kamus saku bahasa asing negara-negara tersebut. Saya lalu memiliki angan untuk mengabadikan suasana musim gugur dengan daun-daun kuning dan merah berjatuhan diatas saya. Sederhana memang, namun bagi saya impian itu eksotis!
Kemudian, di Jeonju Hanok Village mimpi masa kecil itu terwujud, tunai! Senangnya hati saya saat itu tak terperikan setelah sebelumnya tidak mendapatkan momen tersebut ketika masa tinggal singkat saya di Amerika  selesai.
Saat menyusuri Hanok Village dengan segala keunikan interior dan eksterior yang ada, pengunjung pasti akan sangat menikamati area ini, bahkan saya merasa terbawa ke zaman dinasti Joeson dulunya seperti scene-scene yang saya lihat di film Dae Jang Geum. “duhai! apik sekali” batin saya saat itu.

Hanok village adalah bentuk kepedulian pemerintah dan masyarakat Korea Selatan terhadap budaya yang kemudian ditampilkan pemerintah setempat dalam proyek pembangunan arsitektur rumah tradisional Korea yang mengesankan, apik  dan bercita rasa klasik-modern yang elegan. Hal ini dilakukan demi melestarikan rumah tradisional Korea dan proyek ini kemudian mampu menjadi atraksi wisata yang sangat memukau. Ditunjang dengan sarana prasarana yang tetap memanfaatkan hanok sebagai bangunan utama, toko-toko souvenir, galeri seni, handycraft house, café bahkan gang-gang kecil yang bisa anda jelajahi akan terasa sangat kental dengan nuansa Korea tempo dulu apalagi jika dipadukan dengan gemericik air yang dilengkapi dengan kincir air kayu. Love it!
Tapi tunggu dulu! Hanok village tak hanya mengahdirkan nuansa romantic tempo dulu dengan kehadiran puluhan Hanok yang ada. Saat itu, ketika melihat-lihat galeri handycraft setelah puas berhasil membuat Hand Mirror, saya melihat gulungan kertas warna-warni dipajang di toko tersebut. Yeseul Seo, penerjemah kami selama program berlangsung, menjelaskan bahwa kertas-kertas itu adalah hanji.
Hanji terbuat dari chomok, kulit kayu mulberry, dan memakan waktu yang lama dalam proses pengerjaannya dan juga sangat rumit sampai kemudian dapat digunakan untuk beragam keperluan rumah tangga dan even-event tradisional, termasuk digunakan sebagai kertas pelapis pintu atau jendela di dalam hanok. Karena nilai seni tinggi ditambah lagi proses pengerjaan yang rumit dan lama dan juga bahan baku pilihan yang harus dipilih secara sangat selektif inilah pemerintah Korea Selatan sangat protektif dalam menjaga kelestarian tradisi pembuatan hanji.
Bagi saya hanji dan hanok adalah sejoli yang tak dapat dipisahkan. Hanji dan hanok adalah bentuk kearifan orang Korea zaman dahulu yang hingga sekarang dapat dilestarikan di Korea dengan baik.
Andai kita dan juga pemerintah (daerah dan pusat) mengembangkan terobosan-terobosan baru agar lebih mampu menjaga dan melestarikan budaya kita, maka dengan promosi serta penanganan yang lebih baik dan tepat dari yang telah ada sebelumnya, macam-macam kertas berbahan kulit kayu di Nusantara semacam Lantung dari Bengkulu, Tapa dari Kalimantan Tengah atau kertas Lontar dan Daluang di Jawa dan juga rumah-rumah tradisional yang ada di setiap daerah di Nusantara, kekayaan Indonesia ini pasti akan lebih dikenal dan berkembang serta mampu menjadi daya tarik wisata budaya seperti halnya hanok dan hanji-nya Korea Selatan.  

Hanbok, busana yang sangat “ketimur-an”

Hanbok!


Ketika di Korea saya sangat ingin mencoba mengenakan Hanbok sebagai upaya menjawab rasa penasaran saya tentang apa jadinya jika jilbab berpadu dengan Hanbok. Maka ketika momen itu saya dapatkan, hasilnya, serasi!
Setelah belajar melakukan Sebae (cara penghormatan yang dilakukan masayarakat Korea), dan menyantap camilan khas Negeri Ginseng, seorang ibu petugas di Korean National Art Museum menjelaskan tentang Hanbok dan mengizinkan kami memilih Hanbok yang kami sukai. Ia menjelaskan bahwa Hanbok tak hanya tentang berpakaian, namun mengajarkan tentang filosofi kesopanan dalam berbusana kepada generasi muda Korea. “Unlike Japanese and Chinese costume, Hanbok is loose gown so it wouldn’t shape your body but it is still graceful and pretty”. Lalu sang ibu membantu saya mengenakan Hanbok yang ia pilih agar warnanya serasi dengan jilbab hitam saya ketika itu.  
Hanbok mengajarkan saya tentang feel ke-timuran yang lebih terasa dibandingkan beberapa pakaian daerah Indonesia. Dari sudut pandang ini, harus diakui bahwa dalam beberapa hal negara kita yang mayoritas berpenduduk Muslim ini ternyata belum se’timur’ beberapa negara lainnya di dunia dan Korea Selatan ternyata memiliki sisi ‘ketimur-an’ tersebut  yang salah satunya hadir dari filosofi Hanbok. 

*Penulis adalah delegasi IKYEP 2011 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar