Kamis, 11 Desember 2014

Homestay: Sebuah proses pembelajaran


Hi, great fellas
Another story from IKYEP delegation, Wira Tri Barkah. 
Happy reading ^_^

Homestay: Sebuah proses pembelajaran


Ada yang berbeda rasanya saat saya telah kembali berada di Indonesia. Ada perasaan sedih ketika meninggalkan tempat yang indah disana, berpisah dengan semua momen saat menghabiskan waktu bersama teman-teman dan keluarga angkat. Saya juga merindukan Ayah Choi dan keluarganya yang hangat. Tidak ada lagi daun kuning dan merah yang indah berderet di sepanjang jalan seperti yang selalu terlihat selama fase Korea. Tidak ada lagi cuaca dingin yang sejuk yang memaksa kami harus memakai jaket tebal. Saya mulai merindukan momen-momen itu, pemandangan dan suasana indah yang berbeda dengan Indonesia.
Tapi disisi lain, sebagai orang Indonesia tulen, saya-pun senang bisa kembali ke Indonesia, tanah kelahiran, tanah tumpah darah. Saya juga merindukan negeri yang indah ini. Seperti kata pepatah, Seindah-indahnya negeri orang, senyaman-nyamannya negeri orang, tetap lebih indah negeri sendiri, masih lebih nyaman negeri sendiri. Darah saya adalah darah Indonesia, tidak mungkin saya tidak merindukan negeri dengan sejuta keindahan dan budaya ini.
Tepat tanggal 10 November 2014 IPYs dan National leader kembali ke Indonesia dengan penerbangan Cathay Pacific, pesawat canggih, modern, nyaman dan lengkap dengan pelayanan standar Internasional. Kami kembali ke Indonesia tidak bersamaan dengan delegasi Korea. Mereka ke Indonesia sehari setelahnya, tanggal 11 November 2014. Kami pertama bertemu dengan delegasi Korea di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, tempat singgah sementara sebelum melaksanakan fase Indonesia di Kuningan, Jawa Barat.

Lagi dan lagi, pada fase Indonesia kami juga melaksanakan program homestay. Namun, perbedaannya adalah program homestay fase Indonesia lebih lama dibandingkan pada saat fase Korea, yaitu 4 hari. Pada homestay fase Indonesia, kami dipasangkan dengan delegasi Korea. Saya, Ave, dan Hyeon Woo (Wahyu) adalah satu kelompok homestay di rumah Bapak Unida. 

Ketika program homestay mulai, bagi kita orang-orang Indonesia, makanan seperti tempe, tahu, ikan asin, dan sambal adalah makanan yang menggugah selera, hal biasa. Tapi belum tentu dengan orang asing yang baru pertama kali mencoba. Ketika itu, saya terus melihat wajah Hyeon Wo, hanya ingin tahu bagaimana ekspresinya ketika pertama kali makan makanan Indonesia ini. Alhamdulillah, orang Korea satu ini tidak terlalu pilah pilih soal makanan, dia menyukai masakan Indonesia, walaupun terlihat sederhana tapi dia suka dengan rasanya. Aku tersenyum melihat Hyeon Wo saat makan tanpa menggunakan alat makan seperti sendok ataupun sumpit seperti kebiasaan orang Korea. Lucu, karna ini kali pertamanya dia makan hanya dengan menggunakan tangan, maka terlihat kaku saat saya melihatnya makan. Kami pun mengajarinya bagaimana cara yang benar makan dengan menggunakan tangan. Dia terlihat begitu antusias mencoba. Senang sekali bisa berbagi dengannya, mengajari bagaimana kebiasaan tradisional orang Indonesia, ketika makan contohnya.
Selain soal makanan, ada satu hal lagi yang membuat delegasi Korea sedikit khawatir. Urusan kamar mandi atau toilet. Di Korea, semua kamar kecil memiliki desain toilet dengan kloset duduk, bahkan banyak yang dilengkapi fitur-fitur canggih, jauh lebih canggih daripada toilet duduk yang biasa kita temui di Indonesia, serta kebiasaan mereka yang hanya menggunakan tisu untuk berbilas. Sedangkan di Indonesia, tepatnya di daerah Kuningan tempat fase Indonesia dilaksanakan, rata-rata kamar kecil hanya memiliki toilet dengan desain kloset jongkok dan menggunakan air untuk berbilas, tidak ada tisu. Hal inilah yang membuat kebanyakan delegasi Korea bingung, mereka tidak mengerti bagaimana cara menggunakannya. Jadi, mau tidak mau kami juga harus mengajarkan hal ini kepada delegasi Korea, walaupun agak sedikit terasa ‘aneh mengajarkan hal tersebut. Namun, hal bagusnya, saya kagum kepada Hyeon Wo, dia begitu cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tidak banyak tingkah dan mudah diatur untuk mempelajari kebiasaan masyarakat Indonesia. Keluarga induk semang kami-pun menyukainya.
Hari Minggu 16 November 2014, semua kegiatan diserahkan pada keluarga angkat. Saatnya acara bebas, tidak ada acara yang menyangkut program. Dengan kata lain kami diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan kami sendiri bersama keluarga homestay. Maka, pada hari itu, saya, Ave, Hyeon Wo dan Mas Adit (host brother) berencana untuk jalan-jalan ke kebun Bapak di kaki gunung Ciremai. Kami mengajak teman kami lainnya, Musa dan Yeonsu. Lokasi kebun Bapak berada lumayan jauh dan agak tinggi mengarah ke Gunung Ciremai, sehingga kami harus sedikit mendaki untuk sampai di kebun. Kurang lebih selama satu jam 30 menit, akhirnya kami sampai di kebun Bapak. Kami tidak berada terlalu lama di kebun. Karena banyaknya nyamuk hutan, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang melewati jalur yang berbeda. Memakan waktu 2 jam untuk sampai dirumah karena jalan kami yang lambat, sering beristirahat, dan bersantai sambil melihat pemandangan sekitaran gunung Ciremai.
Setibanya kami di rumah, Hyeon Wo dan Yeonsu lalu mengajak kami berenang. Kebetulan di daerah tempat kami homestay terdapat kolam pemandian Waterboom, sehingga kami tidak perlu repot-repot menggunakan kendaraan, kami hanya butuh berjalan kaki dari rumah menuju kolam renang itu. Tidak lama kami berenang, air yang dingin memaksa kami untuk tidak menghabiskan berlama-lama di tempat ini. Dan yang terpenting adalah kami bisa menghabiskan waktu bersama, saling berbagi, saling belajar, dan mengajari kebiasaan serta aturan-aturan di masing-masing negara kami.

Bagi saya, yang terpenting dari kegiatan homestay ini adalah peluang yang tersedia yang mengajak kita untuk lebih dekat dengan masyarakat dari budaya dan tradisi berbeda. Program homestay juga menawarkan kepada kami untuk lebih peka dengan lingkungan sekitar. Kami-pun dapat saling mempelajari budaya masing-masing secara langsung dan lebih dekat sambil menjalin koneksi dan pemahaman yang dapat menguatkan jalinan persahabatan dan juga kekeluargaan. Pada akhirnya, saya merasa bahwa terciptanya mutul understanding, yang merupakan salah satu tujuan dari program pertukaran pemuda, adalah hal yang paling berharga yang saya alami sepanjang program. Saya sangat bersyukur untuk hal ini. I really do! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar